“Karena Ukhuwah itu sesederhana konfirmasi..”
Sebuah kutipan berharga dari seorang Senior, lima kata yang cukup
menjadi pengingat betapa krusialnya masalah konfirmasi dalam pergerakan organisasi ini.
Hal ini juga yang menjadi bahan evaluasi pada pertemuan pekanan
kemarin, bersama sahabat-sahabat melingkar yang selalu
menginspirasi.
Tidakkah engkau tahu anakku, segala ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya,
“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!?"
-Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
Ruhul Istijabah (semangat menyambut seruan). Kita seharusnya
telah lama tahu mengenai makna kata ini. Tapi kenyataannya kita hanya tahu, belum
memahaminya. Bagaimana mungkin kita mengaku memahaminya jika kita masih saja
sering terlambat datang ke majelis ilmu. Sehingga efektifitas fungsi majelis ilmu itu
berkurang karena keterlambatan dan ketidakdisiplinan dalam konfirmasi.
Bagaimana disebut paham jika target-target amal harian kita sering tidak
tercapai.
Ruhul istijabah itu tidak akan tercapai tanpa adanya
kekuatan iman (qowiyul iman) dalam diri seseorang. Karena apa lagi jika bukan
iman yang mengakar kuat, yang menggerakkan keberanian kaum muslimin untuk bergerak
di medan Badr. Apa lagi jika bukan iman yang menghujam ke dasar hati yang
menggerakkan si tua-pincang Amr bin Jamuh untuk memenuhi panggilan Jihad di
medan Uhud sementara dia mendapat keringanan dari Rasulullah, “Sehingga dengan
kaki pincangku ini aku akan dapat berjalan-jalan di Surga!”. Apa lagi ya? Jika
bukan iman yang melahirkan tekad yang tajam yang menggerakkan tubuh Anas bin
Nadhir untuk bergerak maju ke depan di saat pasukan muslim mundur terdesak. “Ya
Saad!” teriaknya, “Surga! Surga! Aku mencium baunya di bukit Uhud!”. Lagi-lagi
di Medan Uhud. Bahkan, apa lagi jika bukan iman yang menumbuhkan kecintaan
kepada Rabb melebihi kecintaan pada istri, yang membuat Hanzhalah bangkit dari
kenikmatan malam pertamanya dengan sang istri untuk bersegera memenuhi
panggilan Jihad, padahal dia sedang junub. Hingga para malaikatlah yang
memandikannya.
Lalu dimana posisi kita dari berderet-deret barisan mereka yang
telah menunjukkan komitmennya di jalan mulia ini? Sedangkan kita? Liqo’ saja
masih sering telat, bahkan banyak alasan untuk tidak hadir, terget amal harian
yang sering kosong, dan sederet amal-amal yang sungguh memalukan dibanding
pendahulu kita. #Astaghfirullah T.T
Apalah kita ini dibanding umat-umat binaan Rasulullah yang
begitu bersemangat menyambut seruan jihad. Mereka segera bergegas tanpa ada
rasa takut, keluh kesah, dan gundah gulana. Semua menyambut dengan wajah yang
cerah, karena mereka telah mencium dua bau, bau kemenangan umat Islam, atau bau
wangi nan indahnya Surga.
”Berangkatlah kamu dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan Allah, yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (At-Taubah :41).
Atau pribadi-pribadi seperti Utsman bin Affan dan
Abdurrahman bin Auf yang terkenal dengan kontribusi hartanya terhadap Islam
yang sungguh hebat. Bahkan tak kalah Abu bakar Ash Shiddiq yang dengan hartanya
yang tidak sebanyak dua sahabat kaya di atas, malah lebih hebat lagi, seluruh
hartanya ia berikan untuk Islam. “Bagi anak dan istriku, aku tinggalkan mereka demi Allah dan RasulNya..”ujarnya,
Lagi-lagi kita harus menggigit jari. Ah, sungguh kita ini
bahkan lebih kerdil dari sebutir buih bila dibandingkan dengan pribadi-pribadi
mereka. Seharusnya kita malu dengan gelar ‘Aktivis Tarbiyah atau Aktivis Dakwah’
yang tertera di kepala kita masing-masing. Kita lebih sering mengabaikan ajakan
dari Murobbi yang mungkin beliau dengan susah payahnya meluangkan waktu untuk
kita. Kita sungguh tak menyadari atau seringkali melupakan beban besar yang
tertempa di pundak kita. Beban yang bahkan Rasulullah beruban karenanya. Tapi kita,
sekedar tergerak pun jarang. #Astaghfirullah.
Maka tetaplah menjadi pembelajar, tetaplah berkumpul dengan sahabat
shalih lainnya. Sungguh di zaman fitnah ini apa lagi yang akan menguatkan dan
mendekatkan kita pada Allah, selain binar cerah wajah penuh ketawadhu’an
saudara-saudara kita. Bukankah mukmin dengan mukmin lainnya adalah bagaikan
cermin. Maka ambillah apa yang kurang di dirimu dari saudaramu.
Ah Allah, surga itu terasa jauh. Amat jauh. Kiranya
Engkau himpun yang berserakan dari diri kami. Mengembalikan apa-apa yang hilang
dari diri kami. Dan melengkapi apa-apa yang kurang dari diri kami. Sehingga
kami pantas untuk memikul risalah mulia yang orang-orang mulia dahulu telah
memikulnya :')
Baca juga artikel tentang luruhnya budaya konfirmasi.
***
Solo, 16 Desember 2015
Tulisan pribadi, sebagian menyadur dari kisah Sirah Nabawi dan beberapa referensi lainnya.
#PengingatDiri
#YukKonfirmasi
#SemangatMenyambutSeruan
0 komentar:
Posting Komentar